Namun, letusan-letusan tersebut tidak banyak tercatat hingga abad ke-19. Letusan pertama yang masih diragukan kebenarannya terjadi pada tahun 1860. Pada tahun 1818, letusan menghasilkan abu vulkanik yang menyebar hingga pantai Pekalongan, sementara letusan pada tahun 1882 menyebarkan abu hingga Kebumen.
Asal usul nama "Sindoro" sendiri diyakini berasal dari bahasa Sanskerta "Sundara," yang berarti indah atau "sundari," yang berarti cantik. Ini diperkuat oleh catatan dari seorang pujangga yang melintasi dataran tinggi Dieng dan merujuk pada gunung ini dengan nama "Sundara."
Sejarah letusan Gunung Sindoro tercatat sejak abad ke-19. Antara tahun 1887 hingga 1923, beberapa letusan terjadi, termasuk suara ledakan di 1923 dan aktivitas lumpur serta lontaran batu pijar pada tahun 1923. Letusan terakhir yang cukup signifikan terjadi pada tahun 1930.
Aktivitas vulkanik Gunung Sindoro berfluktuasi seiring waktu. Pada tahun 2011, status aktivitas Vulkanik Gunung Sindoro naik ke level 5, namun kemudian diturunkan kembali ke level 1 pada tahun 2012.
Dengan keindahannya yang menawan dan sejarah vulkanik yang menarik, Gunung Sindoro tetap menjadi tujuan menarik bagi para pendaki dan penikmat alam.
Keberadaannya juga mengingatkan kita akan kompleksitas alam dan perluasan pengetahuan kita tentang vulkanisme serta pentingnya konservasi lingkungan untuk masa depan yang lebih baik.(*)