“Tidak semua orang bisa datang ke rumah Allah SWT. Banyak duit, tapi belum tentu dapat hidayah, tergerak untuk berhaji,” ucap dia.
Karena itu, Mbah Kerto merasa sangat bahagia.
Dia sudah tak sabar untuk menginjakkan kakinya di Kota Mekah.
BACA JUGA:Kurir Ditangkap, Sabu Sebanyak 5,3 Kg Tujuan Betung Banyuasin Gagal Beredar
BACA JUGA:Kurir Ditangkap, Sabu Sebanyak 5,3 Kg Tujuan Betung Banyuasin Gagal Beredar
Tuminah Istri Mbah Kerto yang sama-sama berasal dari Yogyakarta sudah lebih dulu berpulang.
Istrinya, meninggal dunia pada 1986. Kurang lebih 33 tahun setelah mereka menetap di OKU Timur.
Mbah Kerto menceritakan bagaimana ia bisa tinggal dan menetap di OKU Timur cukup menarik.
Dia awalnya ikut program transmigrasi. Era zaman pemerintahan Presiden Soeharto, transmigrasi memang gencar dilakukan.
BACA JUGA:Anggota Dewan Muba Resmi Ditahan, Ini Kasus yang Menimpanya
BACA JUGA:Muba Masih Terpantau Zero Hotspot Karhutlah
Saat itu masih banyak lahan kosong yang harus diolah. Termasuk di wilayah Sumsel. Tiap transmigran dapat 2 hektare.
Dia ingat betul, saat itu tahun 1953. Saat itu usianya 35 tahun.
Kini, usianya sudah sepuh. Tak lagi pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta. Dia sudah nyaman di kabupaten itu.
Keseharian di rumah, Mbah Kerto lebih fasih ngobrol menggunakan bahasa Jawa dari pada bahasa Indonesia.
BACA JUGA:Tangani Dugaan Serangan Siber, BSI dan BSSN Perkuat Sinergi