Opini: Evaluasi Pembelajaran di Era Baru, Bisakah Lebih Baik Tanpa UN?

Opini: Evaluasi Pembelajaran di Era Baru, Bisakah Lebih Baik Tanpa UN?

Nurfika Putri Utami Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan Universitas Sriwijaya--

HARIANMUBA.COM- Selama bertahun-tahun, guru di Indonesia menilai siswa melalui selembar kertas ujian, kini Indonesia dihadapkan pada sebuah tantangan besar: "Bisakah kita membuat sistem evaluasi yang lebih adil dan komprehensif sesuai dengan perkembangan zaman?". 

Dalam beberapa tahun terakhir, sistem pendidikan di Indonesia telah mengalami sejumlah perubahan signifikan, salah satunya yaitu dihapuskannya Ujian Nasional (UN). UN yang selama ini menjadi "ritual wajib" dan sebagai tolak ukur kelulusan peserta didik, resmi dihapus sejak 2021. Kini muncul pertanyaan mendasar: "Apakah ada evaluasi pembelajaran yang lebih baik dari UN?".

Banyak pendapat mengatakan bahwa UN tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan peserta didik. UN sering dianggap hanya berfokus pada aspek kognitif, tanpa mempertimbangkan keterampilan abad 21 yang diperlukan di dunia nyata oleh peserta didik. 

BACA JUGA:Polisi Berhasil Amankan Terduga Pelaku Pembunuhan Sopir di Jalinsum Ogan Ilir, Ini Pengakuannya

Tekanan berlebih yang dihasilkan dari UN menimbulkan dampak negatif pada mental siswa dan sering kali juga terjadi praktek kecurangan. Menurut Survei Kemendikbud pada tahun 2019, menunjukkan bahwa 78% siswa mengalami kecemasan tinggi menjelang UN. Oleh karena itu, penghapusan UN dipandang sebagai langkah untuk menciptakan sistem evaluasi yang lebih komprehensif dan bermakna.

Tantangan dan Solusi di Era Baru

Perubahan sistem evaluasi tanpa UN ini tentu saja bukan tanpa tantangan dan rintangan. Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah bagaimana mengembangkan sistem evaluasi yang adil dan merata, sehingga diperlukan adanya standarisasi kualitas penilaian. Tanpa adanya pedoman yang jelas, kualitas evaluasi di setiap daerah akan berbeda dan bervariasi sehingga menimbulkan potensi ketidakadilan.

Diharapkan ada sebuah sistem penilaian yang berlangsung secara berkelanjutan selama proses pembelajaran, yang tidak hanya menilai aspek kognitifnya saja tetapi juga memperhatikan perkembangan afektif dan psikomotorik peserta didik.

BACA JUGA:Apple Bersiap Merilis Produk Terbaru di Segmen Perangkat Rumah

Di beberapa negara maju seperti Finlandia, mereka telah lama menerapkan evaluasi berbasis proyek dan penilaian berkelanjutan sebagai bagian dari kurikulum mereka. Guru secara aktif akan memantau perkembangan peserta didik setiap harinya sehingga hal itu dapat memberikan gambaran yang lebih utuh tentang potensi dan pencapaian setiap peserta didik.

Digitalisasi pendidikan juga membuka peluang untuk peserta didik dapat mendokumentasikan karya mereka dan melakukan refleksi diri terhadap pembelajaran yang sudah mereka lalui. 

Di Indonesia, konsep ini sudah mulai diterapkan dengan merujuk pada Kurikulum Merdeka. Baik sekolah maupun guru lebih fleksibel dalam mengembangkan metode evaluasi yang akan digunakan pada peserta didiknya. Guru harus mampu merancang evaluasi yang tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi juga saat proses pembelajaran. 

BACA JUGA:Ini Daftar Uang Rupiah Yang Telah Dicabut BI, Serta Jadwal Penukrannya

Dengan begitu, kualitas guru serta infrastruktur yang mendukung menjadi faktor penting dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, guru-guru di Indonesia perlu dibekali dengan kompetensi yang memadai untuk melakukan evaluasi yang lebih kompleks. Pelatihan-pelatihan dapat dilakukan dimana guru diberikan kesempatan untuk belajar menggunakan berbagai alat evaluasi berbasis teknologi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: